Sepanjang tahun 2022, ekonomi global dan industri crypto dihadapkan pada berbagai tantangan. Permasalahan ekonomi makro seperti tingginya inflasi dan agresifnya kebijakan dari bank sentral Amerika Serikat diperkirakan akan membuat kondisi industri crypto di tahun 2023 masih tidak menentu.
Kendati begitu, industri crypto punya modal berharga untuk menyambut tahun depan. Pada tahun 2022, Ethereum berhasil mengimplementasikan The Merge yang secara signifikan memangkas konsumsi energi industri crypto, di mana sebelumnya selalu menjadi perhatian publik. Melalui artikel ini, kami akan mengulas apa saja yang terjadi di tahun 2022 dan juga apa saja yang bisa kita nantikan dari pasar crypto di tahun 2023
Ringkasan Artikel
- ⚠️ Sepanjang 2022, ekonomi global dihantam krisis energi yang memicu kenaikan inflasi. Bank sentral global merespons permasalahan tersebut dengan kebijakan moneter yang agresif.
- 🚨 Imbasnya, industri crypto berkinerja negatif sepanjang 2022. Hal ini diperparah dengan berbagai permasalahan yang terjadi di industri crypto itu sendiri.
- 📉 Sepanjang 2022 Bitcoin berada dalam tren koreksi di mana saat ini, Bitcoin mempunyai level support terkuat di 14,000 dolar AS. Namun, tidak bisa dipastikan bahwa titik tersebut merupakan area bottom Bitcoin.
- 💡Akan tetapi berbagai inovasi di industri ini terus dikembangkan. Salah satunya adalah berhasilnya implementasi The Merge oleh Ethereum, yang memangkas konsumsi energi blockchain ini sebesar 99%, dan diyakini akan meningkatkan adopsi crypto.
- 🏦 Memasuki 2023, imbas dari inflasi dan kebijakan moneter yang agresif, ekonomi global dihadapkan pada ancaman resesi. Industri crypto harus bersiap menghadapi permasalahan ekonomi makro serta potensi pengetatan regulasi.
- 🚀 Dengan berbagai tantangan yang dihadapi industri ini di 2022, diperkirakan akan terjadi pertumbuhan minat terhadap aset-aset seperti Bitcoin dan Ether, atas dasar pertimbangan faktor-faktor seperti keberlanjutan tokenomik, kematangan ekosistem, dan likuiditas pasar.
2022 Overview
Melihat ke belakang pada tahun 2022, industri crypto mengalami kemajuan yang impresif namun juga masa-masa yang sulit. Tahun 2022 seharusnya menjadi tahun pemulihan bagi ekonomi pasca pandemi Covid-19 silam. Sayangnya proses pemulihan tersebut terganggu oleh beberapa kejadian yang justru membuat ekonomi dunia mengalami perlambatan.
Situasi Ekonomi Makro
Inflasi yang Mengkhawatirkan
Salah satu pemicu berbagai permasalahan ekonomi makro yang terjadi di tahun 2022 bermula dari pecahnya perang antara Rusia dengan Ukraina. Imbas dari permasalahan tersebut, terjadilah krisis energi seiring dengan melonjaknya harga minyak dunia dan gas alam.
Komoditas | Akhir 2021 | Tertinggi | % | 26 Des 22 | % |
Gas Alam | US$ 3.61 per mmbtu | US$ 9.72 per mmbtu | 169.25% | US$ 5.08 per mmbtu | 40.72% |
Minyak WTI | US$ 75.74 per barel | US$ 119.95 per barrel | 58.37% | US$ 79.56 per barrel | 5.04% |
Harga gas alam dan minyak dunia mengalami kenaikan setelah invasi Rusia ke Ukraina. Pada Juni, harga gas alam mencapai level tertingginya di US$ 9.72 per mmbtu karena Rusia memotong pasokan ke Uni Eropa. Harga minyak dunia juga naik hingga mencapai US$ 120 per barel pada Maret. Namun, jelang akhir tahun, keduanya harga berangsur-angsur mengalami penurunan.
Kendati begitu, imbas dari naiknya harga kedua komoditas energi tersebut laju inflasi di beberapa negara terkerek naik. Hal ini dikarenakan naiknya harga bahan bakar berdampak pada meningkatnya biaya pengeluaran masyarakat. Di AS misalnya, pasca naiknya harga komoditas energi, inflasi sempat mengalami kenaikan hingga level 9.1% atau yang tertinggi dalam 41 tahun terakhir.
Kenaikan inflasi juga terkait dengan kebijakan quantitative easing yang dilakukan The Fed untuk mendorong pemulihan ekonomi AS setelah pandemi Covid-19, yang menyebabkan likuiditas di pasar meningkat dan balance sheet The Fed meroket menjadi 9 triliun dolar AS dari sebelumnya 5 triliun dolar AS.
Kenaikan inflasi tersebut pada akhirnya memicu beberapa bank sentral mengambil langkah agresif. Hal tersebut turut menjadi penyumbang permasalahan ekonomi makro sepanjang 2022.
Jangan lupa untuk baca artikel berikut untuk mengetahui pengaruh kebijakan bank sentral terhadap pasar crypto.
The Fed yang Agresif
Seiring terusnya naiknya laju inflasi, berbagai bank sentral dunia mulai mengambil langkah dengan mengetatkan kebijakan moneter. The Fed misalnya, suku bunga acuan yang semula berada di 0 – 0.25%, kini telah berada di level 4.25 – 4.5%.
Dengan naiknya suku bunga acuan, aset-aset berisiko seperti saham dan crypto pun mulai ditinggalkan investor. Para investor kemudian mengalihkan dananya ke aset safe haven di tengah ketidakpastian ekonomi. US Treasury kemudian menjadi salah satu incaran para investor di mana yield US Treasury 10 tahun bahkan sempat menyentuh level 4.23%.
Akhir dari Beberapa Proyek Crypto
Dengan kondisi ekonomi yang melambat, lalu aset-aset berisiko dijauhi, harga berbagai aset kripto pun mengalami penurunan sepanjang tahun 2022. Selain dari permasalahan ekonomi makro, industri crypto juga dihantam oleh beberapa kasus besar yang menjadi sentimen negatif untuk pasar crypto.
Kejatuhan LUNA
Pada bulan Mei, secara mengejutkan stablecoin TerraUSD (UST) mengalami depeg alias kehilangan patokan 1:1 dengan dolar AS. Imbasnya, UST terkoreks ke level terendahnya di 0.06 dolar AS. Sedangkan LUNA terjun hingga 100% ke level 0,0002 dolar AS. Mengingat besarnya kapitalisasi pasar LUNA dan UST, kejadian tersebut menciptakan kepanikan di industri kripto kala itu.
Cari tahu lebih lanjut soal seluk-beluk stablecoin melalui artikel berikut.
Bangkrutnya 3AC dan Celcius
Tak selang berapa lama dari permasalahan LUNA, industri crypto kembali diguncang isu negatif. Platform pinjaman crypto Celcius membekukan penarikan dana dari platformnya dan dinyatakan mengalami kebangkrutan. Setali tiga uang, perusahaan investasi aset crypto Three Arrows Capital (3AC) juga mengalami kebangkrutan dan mempunyai sejumlah utang yang harus dibayar imbas dari pasar crypto yang tengah bearish, serta kejadian yang menimpa LUNA.
Sengkarut FTX
Tekanan kemudian juga datang dari kebangkrutan FTX, salah satu exchange crypto terbesar di dunia. Hal ini disebabkan oleh FTX yang mengirimkan dana nasabahnya, termasuk token native-nya FTT ke Alameda Research. Saat itu, Alameda yang juga milik FTX tengah mengalami kerugian dari beberapa transaksi. Selepas kejadian itu, harga aset FTT terus turun drastis serta FTX membukukan penarikan dana nasabah.
Kamu bisa mempelajari lebih lanjut soal self-custody, cara aman menyimpan crypto melalui artikel berikut.
Kesuksesan “The Merge” Ethereum
Tahun 2022 tidak sepenuhnya menjadi tahun yang dipenuhi sentimen negatif bagi industri crypto. Pada tahun 2022, industri ini menyaksikan beberapa tonggak sejarah. Salah satunya adalah keberhasilan Ethereum menyelesaikan transisi ke mekanisme konsensus proof-of-stake (PoS) dari proof-of-work (PoW) pada 15 September 2022.
Jangan lewatkan! informasi lebih lanjut soal Proof-of-Stake bisa diakses melalui artikel berikut
Merujuk grafik di atas, dapat kita lihat bahwa konsumsi energi tahunan ETH PoS, atau setelah The Merge, berkurang drastis dan jauh di bawah industri lainnya. Dari perspektif pengguna, The Merge tidak berdampak signifikan pada pengalaman mereka menggunakan jaringan Ethereum. Biaya gas, misalnya, tidak berubah secara signifikan setelah The Merge. Akan tetapi, The Merge, memungkinkan peningkatan skalabilitas blockchain Ethereum di masa yang akan datang.
Dalam artikel berikut, kami telah memaparkan apa saja yang terjadi pasca rampungnya the merge
Memprediksi Tahun 2023
Tahun 2022 telah menjadi tahun yang penuh tantangan bagi ekonomi global. Sementara bagi industri crypto, tahun 2022 masih diselimuti ketidakpastian. Mulai dari tekanan yang diakibatkan dari permasalahan ekonomi makro hingga berbagai permasalahan yang ada di industri crypto itu sendiri. Lalu, apakah tahun 2023 bisa menjadi tahun yang lebih baik bagi industri crypto? Untuk mengetahui jawabannya, simak beberapa faktor di bawah ini yang bisa memengaruhi outlook tahun 2023:
Meneropong Keadaan Ekonomi Makro 2023
Ancaman Resesi di 2023
Tema besar dari permasalahan ekonomi makro pada tahun 2023 adalah terkait resesi. Sebenarnya, sejauh ini ekonomi global telah mengalami apa yang disebut dengan technical recession. Hal ini dikarenakan, pertumbuhan ekonomi sudah mengalami penurunan secara dua kuartal berturut-turut. Untungnya, dampak dari resesi tersebut belum sepenuhnya terasa seiring dengan masih cukup baiknya data-data tenaga kerja di beberapa negara, khususnya AS.
Sementara pada tahun depan, banyak pihak yang memperkirakan ekonomi dunia akan mengalami resesi sungguhan. Artinya, perlambatan ekonomi memang terjadi, sekaligus diiringi dengan data-data ekonomi yang ikut memburuk. Berikut proyeksi dari beberapa bank dunia dan IMF terkait proyeksi pertumbuhan ekonomi global, Amerika Serikat, dan China pada tahun 2023:
Global | U.S | China | |
Morgan Stanley | 2.20% | 0.50% | 5.00% |
Goldman Sachs | 1.80% | 1.00% | 4.50% |
J.P Morgan | 1.60% | 1.00% | 4.00% |
Barclays | 1.70% | -0.10% | 3.80% |
Credit Suisse | 1.60% | 0.80% | 4.50% |
IMF | 2.70% | 1.00% | 4.40% |
Terkait resesi, Bank Dunia dalam studinya mencatat, sikap bank sentral dunia yang menaikkan suku bunga acuannya sebagai respons terhadap kenaikan inflasi justru bisa memicu terjadinya resesi.
💡 Sejauh ini, faktor utama penyebab naiknya inflasi adalah konflik Rusia-Ukraina yang mengacaukan rantai pasokan komoditas, khususnya komoditas energi. Sedangkan faktor yang bisa meredam laju inflasi adalah tekanan pasar tenaga kerja dan gangguan pasokan komoditas bisa mereda.
World Bank Group President David Malpass mengatakan, ancaman resesi 2023 dapat menghambat pertumbuhan ekonomi dunia. Pasalnya, resesi bisa memicu kenaikan harga kebutuhan pokok, pemutusan tenaga kerja, kenaikan harga pasokan energi, hingga naiknya angka kemiskinan. Efeknya, pertumbuhan ekonomi dunia akan semakin melambat karena semakin banyak negara yang jatuh ke delam resesi.
Dengan demikian, nasib pertumbuhan ekonomi dunia pada tahun depan akan bergantung pada angka inflasi. Jika tingkat inflasi masih tetap tinggi, maka efek dari resesi tersebut akan semakin nyata. Hal tersebut bisa berdampak buruk terhadap industri crypto. Pasalnya, ketika ekonomi dunia mengalami perlambatan, maka investor akan melakukan pengetatan dan enggan menyimpan dananya pada aset yang berisiko seperti crypto.
Selain inflasi, berikut ini adalah beberapa faktor yang bisa menyebabkan harga crypto turun.
Menanti Sikap The Fed di 2023
Menjalani 2023, kebijakan bank sentral dunia akan jadi faktor paling penting dalam upaya mengendalikan dan meringankan dampak dari resesi. Setelah melihat sikap The Fed yang agresif menaikkan suku bunga acuan sepanjang 2022, pelaku pasar memperkirakan The Fed tidak akan terlalu agresif menjalani 2023. Namun, sinyal terbaru justru memperlihatkan bahwa The Fed masih akan tetap menjaga tingkat suku bunga di level tertingginya, yakni 5% sepanjang 2023. Hal ini berbanding terbalik dengan ekspektasi pelaku pasar yang meyakini The Fed akan mulai memangkas suku bunga pada paruh kedua tahun 2023.
Ekonom Bloomberg Anna Wong dan Elize Winger memperkirakan, suku bunga sebesar 5% akan tercapai pada awal 2023. Menurutnya, setelah menaikkan suku bunga sebesar 50 bps pada rapat Desember, The Fed kemudian akan menaikkan sebesar 25 bps sebanyak dua kali pada tahun depan. Lalu, besar kemungkinan suku bunga akan dipertahankan di level 5% sepanjang tahun 2023.
Sebelumnya, Gubernur The Fed Jerome Powell sempat mengatakan bahwa suku bunga yang tinggi diperlukan untuk menurunkan tekanan harga. Dengan tingginya suku bunga, diharapkan dapat menekan permintaan dan pada akhirnya akan menurunkan harga. Berdasarkan grafik di bawah, dapat dilihat bahwa suku bunga diekspektasikan akan mencapai titik tertingginya pada 2023. Kemudian, penurunan suku bunga baru akan dilakukan pada tahun 2024 dan 2025 mendatang.
Dengan sinyal dan kemungkinan tersebut, yang tersisa pada tahun depan adalah menantikan apakah ekonomi dunia mengalami soft landing atau hard landing.
💡 Sejauh ini, The Fed menyebut bahwa seluruh keputusan dan kebijakan yang diambil didasari pada upaya untuk menciptakan bantalan agar ekonomi di tahun depan bisa mengalami soft landing.
Peluang Crypto di Tahun Depan
Setelah menjalani tahun yang sulit sepanjang 2022, nasib crypto di tahun 2023 masih diselimuti tanda tanya. Berikut merupakan beberapa hal yang bisa memengaruhi nasib crypto di tahun depan.
Ketidakpastian Makroekonomi
Ancaman resesi, inflasi, hingga kebijakan bank sentral Amerika Serikat dapat berdampak negatif pada industri crypto pada tahun depan. Di tengah situasi yang penuh ketidakpastian, kebanyakan investor akan mengutamakan keamanan dan likuiditas, membuat mereka menghindari aset berisiko seperti crypto. Iklim ekonomi makro yang tidak pasti juga dapat menyebabkan berlanjutnya preferensi untuk aset likuid seperti dolar AS dan US Treasury.
Sekalipun ekonomi membaik dan selera risiko investor meningkat, tidak ada jaminan bahwa dana akan segera mengalir kembali ke pasar crypto. Sebaliknya, investor mungkin pertama-tama beralih dari US Treasury ke komoditas seperti emas terlebih dahulu. Selanjutnya, ketika imbal hasil emas dirasa tidak lagi kompetitif, maka dana akan dialihkan obligasi di negara-negara berkembang.
Ketika aset-aset konservatif tadi tidak lagi memberikan imbal hasil yang dianggap menarik, lalu risk appetite investor juga semakin membaik, barulah aset berisiko menjadi incaran. Namun, sebelum dana mengalir ke pasar crypto, investor akan memilih pasar saham terlebih dahulu. Jika saham-saham dari perusahaan teknologi kembali jadi pilihan investor, di saat itulah aset crypto baru akan kembali jadi incaran para investor.
Kamu bisa membaca artikel berikut mengenai cara memilih aset crypto untuk investasi.
Apakah Bottom Sudah Tersentuh?
Merujuk dari data historis, Bitcoin dan aset crypto mempunyai sebuah siklus. Seperti bull market–bear market (bottom)-consolidation (sideways). Jika berkaca dari siklus tersebut, periode 2021 merupakan periode bull run seiring keberhasilan Bitcoin menembus level all time high, yakni 69.045 dolar AS pada 10 November 2021. Setelah mencapai level tersebut, Bitcoin kemudian terus terkoreksi. Bahkan, pada 22 November 2022 Bitcoin sempat mencapai level 15,195 dolar AS yang merupakan level terendahnya dalam dua tahun terakhir. Tren koreksi ini memperlihatkan bahwa Bitcoin saat ini berada di fase bear market.
Di tengah situasi ini, lantas timbul pertanyaan. Apakah level 15.195 dolar AS merupakan titik bottom dari Bitcoin? Sebenarnya, jika dilihat dari analisa teknikal, saat ini Bitcoin mempunyai titik support terkuat di level 14.000 dolar AS. Sementara dari titik resistance, saat ini Bitcoin tengah menguji ke area 18.000 dolar AS. Jika level resistance tersebut dapat terlewati, maka titik resistance Bitcoin berikutnya berada di 20.000 dan 25.000 dolar AS.
Meskipun menjadi support terkuat, tidak ada jaminan bahwa harga Bitcoin tidak akan turun lebih dalam dari level 14.000. Seperti yang kita tahu, bottom dari sebuah periode bearish sangat sulit untuk diprediksi. Kondisi makroekonomi tahun depan yang belum pasti juga menambah kesulitan dalam memprediksi bottom siklus bearish. Masalah-masalah yang telah menimpa industri kripto belum terselesaikan dengan pasti.
Jika area 14.000 terbukti sebagai bottom Bitcoin, siklus selanjutnya adalah fase konsolidasi atau sideways di mana harga Bitcoin akan cenderung bergerak dalam rentang yang terbatas. Periode sebelumnya, Bitcoin mengalami fase sideways selama hampir tiga tahun. Setelah menyentuh level 17.760 dolar AS pada 16 Desember 2017, harga Bitcoin kemudian jatuh ke area 3.000an dolar AS. Setelah itu, harga Bitcoin bergerak berkonsolidasi di area 5.000 – 10.000 dolar AS. Barulah pada November 2020, Bitcoin berhasil menembus level 17.760 dolar AS dan terus bergerak menguat hingga menyentuh ATH.
Lantas, berapa lama fase sideways Bitcoin kali ini akan berlangsung? Tidak ada yang bisa memprediksi berapa lama fase sideways kali ini akan berlangsung. Pergerakan harga Bitcoin dan aset crypto lainnya tergantung pada proses pemulihan ekonomi dan dibutuhkan katalis positif yang kuat untuk memicu bull run di masa depan.
Pelajari lebih lanjut soal support dan resistance dalam crypto lewat artikel berikut.
Pengetatan Regulasi
Imbas dari permasalahan FTX, diskursus mengenai pengetatan regulasi semakin ramai dibahas untuk menghindari hal yang serupa terulang di masa depan. Sebenarnya, beberapa negara sudah mulai menyiapkan regulasi untuk industri crypto.
- 🇺🇸 Amerika Serikat. Di AS misalnya, Security and Exchange Commission (SEC) telah mendorong aturan agar platform crypto harus didaftarkan layaknya perusahaan sekuritas. Hal ini ditujukan agar order book bisa diaudit dan penerapan aturan yang lebih ketat pada order execution untuk menghindari praktik manipulasi pasar. Selain itu, pada September 2022, White House juga telah meluncurkan Crypto Regulatory Framework.
- 🇪🇺 Uni Eropa. Sementara Uni Eropa juga telah mengeluarkan legal framework melalui Markets in Crypto Assets (MiCA). Proposal tersebut berisikan mekanisme pengawasan, perlindungan konsumen dan ekosistem aset crypto dari manipulasi pasar dan kejahatan keuangan.
- 🇬🇧 Inggris. Setali tiga uang, Inggris melalui The Treasury juga berencana segera meluncurkan aturan baru terkait industri crypto. Salah satu yang akan diatur adalah bagaimana cara menghadapi bangkrutnya sebuah perusahaan, membatasi perusahaan asing yang menawarkan transaksi di Inggris, dan pembatasan pada iklan produk crypto.
Urgensi pengetatan regulasi dinilai akan semakin kuat seiring dengan adanya kasus yang menimpa nasabah FTX. Di satu sisi, diskursus pengetatan regulasi secara jangka pendek berpotensi menjadi sentimen negatif bagi industri crypto yang sejak awal mengusung konsep yang bebas regulasi dan campur tangan pihak ketiga.
Kendati begitu, tak bisa ditampik bahwa regulasi yang lebih ketat justru berpeluang memberi dampak positif secara jangka panjang. Dengan adanya regulasi yang lebih ketat dan melindungi investor, bukan tidak mungkin akan menarik investor yang sebelumnya ragu untuk berinvestasi di crypto.
Terkait regulasi, jangan lupa untuk membaca masa depan crypto di Indonesia melalui pada artikel berikut.
Pertumbuhan Minat Investor Terhadap Aset Berkualitas Tinggi
Dengan adanya berbagai ketidakpastian dari permasalahan ekonomi makro, mayoritas investor mengantisipasi terjadinya resesi ringan di AS yang diperkirakan akan terjadi antara awal 2Q23 hingga 1Q24. Seperti yang dijelaskan sebelumnya, hal ini menyebabkan investor cenderung mengurangi penyebaran modal ke aset yang dinilai berisiko. Hal yang sama pun terjadi di dalam pasar crypto itu sendiri.
Mengutip dari laporan Coinbase, dalam konteks aset digital, diperkirakan akan terjadi pertumbuhan minat menuju aset-aset yang berkualitas dan sudah teruji seperti Bitcoin dan Ether, dengan mempertimbangkan faktor-faktor seperti keberlanjutan tokenomik, kematangan ekosistem, dan likuiditas pasar. Pertumbuhan minat terhadap aset berkualitas ini juga disebabkan oleh kegagalan beberapa proyek crypto yang terjadi di 2022.
Mulai Investasi di Pintu
Terlepas dari apapun kondisi di tahun 2023, kamu bisa berinvestasi pada beragam aset crypto seperti BTC, BNB, ETH, dan yang lainnya melalui Pintu secara aman dan mudah. Selain itu, aplikasi Pintu kompatibel dengan berbagai macam dompet digital populer seperti Metamask untuk memudahkan transaksimu. Ayo download aplikasi cryptocurrency Pintu di Play Store dan App Store! Keamananmu terjamin karena Pintu diregulasi dan diawasi oleh Bappebti dan Kominfo.
Selain melakukan transaksi, di aplikasi Pintu, kamu juga bisa belajar soal kripto lebih lanjut melalui berbagai artikel Pintu Academy yang diperbarui setiap minggunya! Semua artikel Pintu Akademi dibuat untuk tujuan edukasi dan pengetahuan, bukan sebagai saran finansial.
Referensi
Rakesh Sharma, Is There a Cryptocurrency Price Correlation to the Stock Market? Investopedia, diakses pada 15 Desember 2022.
Hannah Ward-Glenton, IMF cuts global growth forecast for next year, warns ‘the worst is yet to come’ CNBC, diakses pada 15 Desember 2022.
Reuters, Big banks see global economy slowing more in 2023, with likely U.S. recession, Reuters, diakses pada 15 Desember 2022.
Kyle White, Bitcoin on-chain data shows 5 reasons why the BTC bottom could be in, Coin Telegraph, diakses pada 15 Desember 2022.
Taylor Tepper, 2023 Federal Reserve Outlook, Forbes, diakses pada 15 Desember 2022.
Steve Matthews, Fed Expected to Keep Peak Rates for Longer, Dashing Hopes for 2023 Cuts, Bloomberg, diakses pada 15 Desember 2022.
Coin Desk, Crypto Outlook 2023: Regulation, Web3, DAOs, Stablecoins and Jobs, diakses pada 15 Desember 2022.
Wen Sheng, US money-printing policy is source of global financial distress, Global Times, diakses pada 15 Desember 2022.
Rakesh Sharma, How SEC Regs Will Change Cryptocurrency Markets, Investopedia, diakses pada 15 Desember 2022.